A. Positivisme
Dalam paradigma ilmu,
ilmuwan telah mengembangkan sejumlah perangkat keyakinan dasar yang mereka
gunakan dalam mengungkapkan hakikat ilmu yang sebenarnya dan bagaimana cara
untuk mendapatkannya. Tradisi pengungkapan ilmu ini telah ada sejak adanya
manusia, namun secara sistematis dimulai sejak abad ke-17, ketika Descartes
(1596-1650) dan para penerusnya mengembangkan cara pandang positivisme, yang
memperoleh sukses besar sebagiamana terlihat pengaruhnya dalam pengembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini. Paradigma ilmu pada dasarnya berisi
jawaban atas pertanyaan fundamental proses keilmuan manusia, yakni bagaimana,
apa, dan untuk apa. Tiga pertanyaan dasar itu kemudian dirumuskan menjadi
beberapa dimensi.
a.
Dimensi ontologis, pertanyaan yang harus
dijawab oleh seorang ilmuwan adalah: Apa sebenarnya hakikat dari sesuatu yang
dapat diketahui (knowable), atau apa sebenarnya hakikat dari suatu realitas
(reality). Dengan demikian dimensi yang dipertanyakan adalah hal yang nyata
(what is nature of reality?).
b.
Dimensi epistemologis, pertanyaan yang
harus dijawab oleh seorang ilmuwan adalah: Apa sebenarnya hakikat hubungan
antara pencari ilmu (inquirer) dan objek yang ditemukan (know atau knowable)?
c.
Dimensi axiologis, yang dipermasalahkan
adalah peran nilai-nilai dalam suatu kegiatan penelitian.
d.
Dimensi retorik yang dipermasalahkan
adalah bahasa yang digunakan dalam penelitian.
e.
Dimensi metodologis, seorang ilmuwan
harus menjawab pertanyaan: bagaimana cara atau metodologi yang dipakai
seseorang dalam menemukan kebenaran suatu ilmu pengetahuan? Jawaban terhadap
kelima dimensi pertanyaan ini, akan menemukan posisi paradigma ilmu untuk
menentukan paradigma apa yang akan dikembangkan seseorang dalam kegiatan
keilmuan.
Positivisme merupakan
paradigma ilmu pengetahuan yang paling awal muncul dalam dunia ilmu
pengetahuan. Keyakinan dasar aliran ini berakar dari paham ontologi realisme
yang menyatakan bahwa realitas ada (exist) dalam kenyataan yang berjalan sesuai
dengan hukum alam (natural laws). Upaya penelitian, dalam hal ini adalah untuk
mengungkapkan kebenaran realitas yang ada, dan bagaimana realitas tersebut
senyatanya berjalan.
Positivisme muncul pada
abad ke-19 dimotori oleh sosiolog Auguste Comte, dengan buah karyanya yang terdiri
dari enam jilid dengan judul The Course of Positive Philosophy (1830-1842).
Menurut Emile Durkheim
(1982:59) objek studi sosiologi adalah fakta sosial (social-fact): Fakta sosial
yang dimaksud meliputi: bahasa, sistem hukum, sistem politik, pendidikan, dan
lain-lain. Sekalipun fakta sosial berasal dari luar kesadaran individu, tetapi
dalam penelitian positivisme, informasi kebenaran itu ditanyakan oleh
penelitian kepada individu yang dijadikan responden penelitian. Untuk mencapai
kebenaran ini, maka seorang pencari kebenaran (penelitian) harus menanyakan
langsung kepada objek yang diteliti, dan objek dapat memberikan jawaban
langsung kepada penelitian yang bersangkutan. Hubungan epistemologi ini, harus
menempatkan si peneliti di belakang layar untuk mengobservasi hakekat realitas
apa adanya untuk menjaga objektifitas temuan. Karena itu secara metodologis,
seorang penelitian menggunakan metodologi eksperimen-empirik untuk menjamin
agar temuan yang diperoleh betul-betul objektif dalam menggambarkan keadaan
yang sebenarnya. Mereka mencari ketepatan yang tinggi, pengukuran yang akurat
dan penelitian objektif, juga mereka menguji hipotesis dengan jalan melakukan
analisis terhadap bilangan-bilangan yang berasal dari pengukuran.
Di bawah naungan payung
positivisme, ditetapkan bahwa objek ilmu pengetahuan maupun
pernyataan-pernyataan ilmu pengetahuan (Scientific Proporsition) haruslah
memenuhi syarat-syarat (Kerlinger, 1973) sebagai berikut: dapat di/ter-amati
(observable), dapat di/ter-ulang (repeatable), dapat di/ter-ukur (measurable),
dapat di/ter-uji (testable), dan dapat di/ter-ramalkan (predictable).[1]
Paradigma positivisme
telah menjadi pegangan para ilmuwan untuk mengungkapkan kebenaran realitas.
Kebenaran yang dianut positivisme dalam mencari kebenaran adalah teori
korespondensi. Teori korespondensi menyebutkan bahwa suatu pernyataan adalah
benar jika terdapat fakta-fakta empiris yang mendukung pernyataan tersebut.
Atau dengan kata lain, suatu pernyataan dianggap benar apabila materi yang
terkandung dalam pernyataan tersebut bersesuaian (korespodensi) dengan obyek
faktual yang ditunjuk oleh pernyataan tersebut.[2]
Setelah positivisme ini
berjasa dalam waktu yang cukup lama (± 400 tahun), kemudian berkembang sejumlah
‘aliran’ paradigma baru yang menjadi landasan pengembangan ilmu dalam berbagai
bidang kehidupan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar