Minggu, 18 Januari 2015

Sungguh puisi lebay



Sungguh puisi lebay
======================
Orang lebay itu katanya sih julukan buat orang yang suka berlebihan. Berlebih dalam hal berpakaian, berbicara, bertindak maupun hal lainnya. Entahlah, kalau untuk orang yang berlebih dalam hal makan memakan itu masih dijuluki orang lebay atau bukan yaa. Hehe.
Utamanya dalam hal mencinta, sungguh mungkin tepat sekali jika banyak orang dimasukkan dalam kategori ini. Pasalnya,orang yang mencinta sangat senang sekali mengobral kata-kata pada orang yang dicintainya. Khusunya para lelaki, meski tak jarang perempuan juga bertingkah seperti ini. Bukan hanya sekedar puitis kata-kata yang diucapkannya, malahan sungguh amat bombastis.
“ Aku tak bisa hidup tanpamu, tanpamu aku galau..”
Nah, kata-kata seperti ini nih biasanya yang suka kita dengar. Tanpamu aku galau sih masih wajar deh, mungkin belum bisa lupain, apalagi untuk bisa move on yaaahh. hehe(kasihan,) hehe . Tapi tetep aja sih ga baik juga seperti ini. Tapi, aku tak bisa hidup tanpamu itu mah udah bisa dibilang melewati batas lebay.hehe . Gimana bisa dibilang tak bisa hidup kalau masih bisa bernapas dan menjalani aktivitas?
Jadi, selama ini kamu hidup karena dia? Kamu bisa bertahan karena dia juga? Haduh. Lebih tepat  kata aku tak bisa hidup tanpamu  ini ditujukan untuk Yang Maha Hidup. Karena ketika hidup kita ditujukan untuk Yang Maha Hidup, so kita bakal menemukan kehidupan. Bener ga ?? : )
Nah, coba baca deh sajak ini.
PUISI LEBAY
Kenapa laut memiliki ombak, tapi aku tak bisa memiliki dia?
Aduhai, kenapa langit punya awan putih bergumpal-gumpal lembut, tapi aku tak punya dia?
Kenapa bunga disukai kumbang, tapi dia tak suka aku?
Wahai, kenapa kereta berjalan di atas rel
Tapi dia tidak mau berjalan di atas kehidupanku
Kenapa cincin berjodoh dengan jari manis,
Tapi dia tak mau menjadikanku jari manisnya?
Kenapa mie suka bersama dalam mangkuk
Tapi dia tak suka bersamaku dimana pun-apalagi di mangkuk?
Kenapa untuk menulis “lengkap” harus ada “K”-nya, atau nanti jadi “lengap”
Tapi dia tidak mau jadi huruf apapun untuk melengkapiku?
Padahal lalat saja selalu nempel ditumpukan sampah
Dia tidak mau nempel sama sekali padaku
Kenapa?
Kenapa kalau Pak Presiden SMS, menterinya selalu me-reply sigap,
Tapi dia tak pernah membalas satu pun SMS-ku?
Kenapa kalau Pak Presiden posting sesuatu selalu di-like/comment/mention,
tapi dia tak pernah sekali pun like/comment/mention aku?
Kenapaaa?
Hiks, kenapa laut memiliki ombak, tapi aku tak bisa memiliki dia?
====
Nah, itu sajak Bang Tere Liye di salah satu bukunya.
And how about this poem??
Mungkin ada sebagian yang bilang emang lebay, biasa aja, kasihan banget yang ngalami cinta kaya gini, jleb banget nih buat gue (kalo yang ngerasa) atau mungkin karena membela orang lebay (karena temennya orang lebay) bilang puisi ini wajarlah namanya juga cinta. Maunya selalu bersama, dan gak mau cintanya sebelah mata (bertepuk sebelah tangan kalee).
Ya, namanya juga perasaan. Memang tak pernah salah. Siapa juga yang membiarkannya singgah. Tak ada. Karena ia adalah fitrah. Tapi tak usah juga berlebihan dalam menyikapinya. Jangan berlebihan, sampai menghabiskan waktu hanya untuk memikirkannya. Karena mungkin  dia tak pernah sedikit pun memikirkan kita. Ataupun jangan berlebihan sampai menghabiskan air mata kita untuk orang yang mungkin tak pernah menangis untuk kita. Karena terlalu berlebihan justru yang rugi adalah diri kita sendiri. Susah tidur, ga enak makan, mata bengkak.
Ada lagi pesan Bang Tere :
“Perasaan adalah perasaan. Cinta adalah cinta. Meski tidak kita bilang, tetap saja cinta. Bahkan kalaupun cinta itu ditolak, dihina, dibanting, dia sungguh tetap cinta. Paling disebut dengan cinta tak sampai. Cinta terpendam”  ( Tere Liye, sajak “Bilang”).
So, gak usah deh obral kata-kata, menggombal, ataupun melakukan hal lainnya yang berlebihan hanya supaya dia tahu perasaan kita. Justru ketika kita mencinta secara berlebihan bisa merubah perasaan itu menjadi keinginan yang tak terkendali. Karena sungguh, dikatakan atau tidak dikatakan, itu tetap cinta.

PANDANGAN TENTANG NILAI



PANDANGAN TENTANG NILAI
Sebelum penulis memberikan pandangan terkait permasalahan nilai. Penulis akan sedikit menganalisis beberapa hal terkait permasalahan nilai ini. Nilai, sebenarnya merupakan sebuah sifat dari suatu barang yang hanya mengandung dan berhubungan dengan subjek yang tahu akan nilai itu sendiri. Tanggapan nilai—misalnya kebaikan—sebenarnya juga bukanlah suatu ‘makhluk’ yang hidup tersendiri dalam salah satu ‘dunia’, akan tetapi Ia pun mempunyai suatu cara tersendiri untuk berada (being), terlepas dari persoalan apakah ada yang menyatakan adanya atau tidak. Setiap individu mempunyai perasaan tentang nilai dan tak pernah terdapat suatu masyakarat tanpa sistem nilai. Melakukan pertimbangan nilai adalah kebiasaan sehari-hari bagi kebanyakan orang. Bagi kebanyakan orang penilaian terjadi secara terus menerus. Sebenarnya, ‘nilai’ merupakan pengertian yang luas lingkupnya dibandingkan dengan pengertian ‘yang baik’, dan pengertian tersebut menyangkut perangkat hal yang disetujui dan yang tidak disetujui. Sehingga, seperti yang penulis sebutkan di atas tadi, maka terus terjadi perdebatan yang tak kunjung selesai ketika masalah ukuran nilai ini disetujui atau tidak disetujui. Dalam bahasa kita sehari-hari, sering kita mengatakan bahwa “barang ini mempunyai nilai,” sebenarnya, bahasa yang kita gunakan ini adalah sebuah pemberian penghargaan atas obyek yang menurut subjektif kita, patut untuk diberi nilai. Maka dari sini sebenarnya nilai adalah sebuah pemberian karena adanya penghargaan yang diberikan. Dengan demikian, maka penulis berpandangan bahwa sebenarnya nilai itu kembali pada individu yang memberi nilai itu sendiri. Namun, biasanya adanya nilai ini juga membutuhkan kesepakatan bersama. Tidak semua orang akan memberi nilai yang serupa, tetapi nilai itu biasanya juga dipengaruhi oleh adanya norma-norma, etika, dan adat istiadat yang berlaku di masyarakat. Adapun hubunganya dengan filsafat ialah, filsafat merupakan seperangkat keyakinan-keyakinan dan sikap-sikap, cita-cita, aspirasi-aspirasi dan tujuan-tujuan, nilai-nilai dan norma-norma, aturan-aturan dan prinsip etis.
Menurut Sidney Hook, filsafat juga pencari kebenaran, suatu persoalan nilai-nilai dan pertimbangan-pertimbangan nilai untuk melaksanakan hubungan-hubungan kemanusiaan secara benar dan juga berbagai pengetahuan tentang apa yang buruk atau baik untuk memutuskan bagaimana seseorang harus memilih atau bertindak dalam kehidupannya.
KESIMPULAN
Berdasarkan pemaparan yang telah penulis jelaskan di atas, maka penulis mengambil kesimpulan bahwa nilai tidak lain tidak bukan adalah standar atau ukuran yang digunakan untuk mengukur segala sesuatu. Ilmu yang mempelajari nilai ini disebut dengan aksiologi, yang sebenarnya merupakan urutan ketiga dari sistematika filsafat. Dua hal yang sering dipermasalahkan dalam nilai adalah masalah etika dan estetika. Terkait dimana sebenarnya letak dari sebuah nilai itu, maka sebenarnya nilai itu hanyalah pemberian dan hal ini lagi-lagi kembali kepada individu masing-masing ketika ia memberikan sebuah penilaian.
REFERENSI :
Purwanto, Ngalim. 2002. Psikologi Pendidikan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya


Minggu, 11 Januari 2015

tantangan moral anak bangsa



Tantangan Moral Anak Bangsa
Seiring dengan kemajuan teknologi informasi (khususnya internet), hampir sepuluh tahun setelah terbitnya buku tersebut, fenomena kehidupan bebas masyarakat seperti terjadi loncatan (skip) yang jauh. Munculnya berbagai pemberitaan di media massa tentang gaya hidup hedon generasi muda menjadi bukti betapa masyarakat kita sedang berada pada kondisi shock culture (kekagetan budaya). Fenomena kumpul kebo, perzinahan, perselingkuhan yang didokumentasikan dalam gambar digital dan video yang disebarluaskan melalui dunia maya telah semakin massif. Gambar bugil dan video porno yang dibintangi oleh penduduk pribumi bermunculan bak jamur di musim hujan. Mulai dari pelajar SMP dan SMA, mahasiswa, pengusaha, hingga kalangan selebriti dan mantan anggota DPR. Menurut data JBDK, video porno dengan ”bintang film” dan ”karya” anak negeri berjumlah lebih dari 500 buah, dan kemungkinan akan terus bertambah.
Kasus video mesum artis top tanah air beberapa waktu lalu seperti diingatkan kembali pada kasus-kasus sebelumnya. Sungguh, ini adalah fenomena sosial yang sangat memprihatinkan. Sebuah gambaran moralitas yang tidak pernah terbayangkan 20 tahun sebelumnya. Pertanyaannya adalah, apa sebenarnya yang terjadi pada masyarakat kita, khususnya generasi muda?
Banyak para ahli sosial berpendapat, bahwa fenomena pergaulan bebas yang direkam dalam teknologi digital, disamping karena faktor pergeseran nilai-nilai moral yang disebabkan oleh banyak faktor, sesungguhnya merupakan bukti kegagapan masyarakat terhadap teknologi tersebut. Banyak masyarakat yang belum mengerti, apa sesungguhnya manfaat dan madharat teknologi digital.
Menurut pakar telematika, peristiwa yang direkam dalam kamera, sesungguhnya telah mengabadikan peristiwa tersebut dalam arti sesungguhnya, karena gambar yang telah dihapus ternyata dapat di-recovery dengan software khusus. Apalagi direkam dengan menggunakan kamera HP yang terhubung dengan satelit, maka sangat mungkin dapat dilihat atau dicuri oleh orang lain. Dengan demikian, sebuah peristiwa yang sangat pribadi sekalipun, jika direkam dalam kamera digital, sejatinya telah disimpan dalam ruang publik.
Psikologi Moral
Terus, apa tanggapan kaum Agamawan terhadap fenomena tersebut? Jelas, mereka mengatakan bahwa masyarakat, khususnya generasi muda telah mengalami problem moral yang sangat memprihatinkan. Mereka sedang berada pada titik nadir peradaban umat manusia yang paling rendah, karena telah meninggalkan nilai-nilai etis dan religius yang selama ini menjadi pegangan hidup. Meminjam istilah al-Quran, jika manusia tidak mengindahkan lagi batas-batas moral, maka mereka seperti binatang, bahkan lebih sesat lagi.

K. Bertens, dalam bukunya Etika (2007) mengatakan bahwa moralitas merupakan suatu dimensi nyata dalam hidup setiap manusia, baik pada tahapan perorangan maupun sosial. Moralitas hanya terdapat pada manusia dan tidak pada makhluk lain, dan makhluk yang paling dekat dengan manusia adalah binatang. Karena itu, dalam terminologi filsafat, untuk menentukan kekhususan manusia sering dibandingkan dengan binatang. Dalam ilmu logika, manusia didefinisikan sebagai binatang yang berfikir (al-hayawan al-nathiq).
Kemudian, apa yang dimaksud moral itu? Para ahli mendefinisikan moral sebagai perbuatan manusia yang berkaitan dengan baik dan buruk, meskipun tidak berlaku untuk semua orang dan bangsa. Baik dan buruk dalam arti etis memiliki peranan sangat penting dalam hidup manusia. Bukan saja sekarang ini, tetapi juga masa lampau dan sepanjang masa. Ilmu-ilmu seperti antropologi budaya dan sejarah menjelaskan bahwa pada semua bangsa dan dalam segala zaman ditemukan keinsafan tentang baik dan buruk, tentang mana yang harus dilakukan, dan yang tidak boleh dilakukan.
Pertanyaan berikutnya adalah, bagaimana perbuatan moral itu muncul dan berkembang? Menurut Jean Piaget, seorang psikolog Perancis mengatakan bahwa kemunculan dan perkembangan moral ditentukan oleh perkembangan kognitif seseorang. Pendapat ini kemudian dikembangkan oleh Lawrence Kohlberg, psikolog Amerika, dalam Stage of Moral Development (1971), bahwa perkembangan moral manusia ditentukan oleh tiga tahap, yaitu tahap pra-konvensional, konvensional dan pasca-konvensional. Demikian juga Ibn Miskawaih mengatakan bahwa moral manusia mengikuti perkembangan daya-daya jiwanya, seperti akal, hati, dan nafs.
Inti dari pendapat para ahli tersebut menegaskan, bahwa perkembangan moral seseorang lebih ditentukan oleh perkembangan rasionya. Artinya, semakin tinggi kualitas rasio atau kemampuan akademik seseorang, seharusnya semakin tinggi kualitas moralnya. Apalagi, tujuan dari pencapaian akademik adalah untuk mencapai tingkat kehidupan yang maju, baik dan bahagia.
Jika dihubungkan dengan fenomena terkuaknya gaya hidup dan perilaku selebritas kita melalui gambar-gambar bugil dan video mesum belakangan ini, seperti membalikkan teori para ahli tersebut, bahwa tingkat rasio yang lebih baik, seperti selebriti, politisi, pengusaha atau kaum terdidik lainnya yang dianggap sebagai kasta kelas atas, tidak berbanding lurus dengan kualitas moralnya. Posisi sosial yang terhormat di tengah masyarakat, tidak menjadikan diri mereka untuk lebih baik, meskipun masih banyak di antara mereka yang baik.
Menarik apa yang dikatakan Al-Ghazali dalam membagi manusia kepada empat kelompok kriteria moral, yang juga bisa untuk memetakan moral masyarakat:
Pertama, seseorang yang sepenuhnya lugu atau polos yang tidak mampu membedakan antara yang baik dan buruk, tetap dalam keadaan fitrah seperti ketika dilahirkan, dan dalam keadan kosong dari segala kepercayaan. Ambisinya tidak begitu kuat untuk mendorongnya mengikuti berbagai kesenangan hidup. Orang seperti ini sangat cepat dalam proses perbaikan moralnya, dengan cukup membutuhkan pembimbing dalam hidupnya.
Kedua, seseorang yang secara pasti telah mengetahui sesuatu yang buruk tetapi ia belum terbiasa mengerjakan perbuatan baik, bahkan ia cenderung mengikuti hawa nafsunya melakukan perbuatan-perbuatan buruk daripada mengikuti pertimbangan akal sehat untuk melakukan perbuatan baik. Perbaikan moral seperti ini tentu tingkat kesulitannya melebihi dari tipe pertama. Sebab, usaha yang harus dilakukan bersifat ganda, selain mencabut akar-akar kebiasaan buruknya, orang tersebut secara serius dan konsisten melakukan latihan-latihan untuk melakukan perbuatan-perbuatan baik. Namun, jika hal ini dilakukan sungguh-sungguh, maka perbaikan moral akan terlaksana.
Ketiga, seseorang yang berkeyakinan bahwa perangai-perangai buruk merupakan sesuatu yang wajib dilakukan dan perbuatan itu dianggap baik dan menguntungkan. Orang tersebut tumbuh dengan keyakinan seperti itu. Terhadap kriteria orang seperti ini, maka sungguh merupakan usaha yang sangat berat dan jarang sekali yang berhasil memperbaikinya. Karena terlalu banyak penyebab kesesatan jiwanya.
Keempat, seseorang yang diliputi pikiran-pikiran buruk, seiring dengan pertumbuhan dirinya, dan terdidik dalam pengalaman (lingkungan) yang buruk. Sehingga ketinggian derajatnya diukur dengan seberapa banyak perbuatan-perbuatan jahat yang ia lakukan dan bahkan dengan banyaknya jiwa-jiwa manusia yang ia korbankan. Orang seperti ini berada dalam tingkatan orang yang paling sulit untuk diobati. Usaha memperbaiki moralitas orang ini bisa dikatakan sia-sia. Wallahu a’lam bish-shawab.

aku malu dipanggil aktivis



Aku Malu Dipanggil Aktivis
Aku malu saat kau memanggilku dengan sebutan “Aktivis”. Karena bisa jadi amal baik mu lebih banyak daripada amalku.
Aku malu saat kau memanggilku dengan sebutan itu. Karena bisa jadi keikhlasanmu lebih mendalam daripada diriku.
Aku malu sangat malu saat kau memanggilku dengan sebutan Aktivis yang hebat. Karena bisa jadi kedudukan engkau lebih mulia di hadapan Allah. Siapa yang tahu tentang hati ini? Bukankah yang mengetahui hanyalah diri sendiri dan Allah semata?
Aku sungguh sangat malu kawan, engkau memanggilku dengan sebutan “aktivis” ketika bacaan Qur’an ku masih terbata-bata dan belum baik. Apalagi dengan hafalan Qur’an ku? Tahsin saja aku masih menunda-nunda. Apalagi untuk tingkat Tahfizh?
Aku merasa tidak pantas kawan, ketika engkau menyebutku dengan sebutan “aktivis” yang sering pulang larut malam karena banyak agenda dakwah disana-sini. Hingga tak jarang aku membiarkan Mushaf itu hanya bergeletakan di atas meja kerjaku. Atau bahkan hanya ku simpan di dalam tas ku tanpa sesekali ku membacanya.
Aku tak kuasa menahan air mata ini kawan, engkau memanggilku dengan sebutan “aktivis” ketika lalai ku membuat kalian merasa terzolimi. Lalai ketika tidak bisa menjalankan amanah di tempat tinggal bersama mu, atau lalai ketika tidak memerhatikan hubungan ukhuwah antara kita. Ya, karena aku terlalu sibuk dengan agenda-agenda dakwah ku di luar sana.
Aku merasa diri ini tak pantas, engkau memanggilku dengan sebutan “aktivis” ketika kehidupanku mulai tak seimbang antara kegiatan organisasi dan akademik. Padahal engkau selalu memerhatikanku. Tapi sepertinya aku bersikap acuh tak acuh hingga penyesalan itu kian datang. Dan berujung dengan keputusasaan.
Aku merasa malu sekali kawan, engkau memanggilku dengan sebutan “aktivis” yang pandai menjaga hati. Padahal bisa jadi ketika aku bertemu dengan kawan perjuangan lawan jenis disana, hatiku terpaut tak menentu dan mengotori jalan ke-ikhlasan cintaku kepada-Nya. Bisa jadi engkau lebih
pandai menjaga hatimu dari pada aku yang berbalut dalam organisasi dakwah ini. Bisa jadi ini hanya topeng semata untuk menutupi busuk nya hatiku di hadapan mereka yang tak tahu.
Aku sungguh sangat sedih kawan, engkau memanggilku dengan sebutan “aktivis hebat”, padahal bisa jadi engkau lebih hebat mengatur waktu dan amalan yaumiyahmu dibanding dengan diriku.
Sudah cukup kawan, jangan panggil aku dengan sebutan “itu” lagi, jika aku hanya berlindung diri dalam kegiatan dakwah tanpa membenahi diri menjadi lebih baik.
Sungguh…
Ini bukanlah dakwah, Ketika amal yaumiyah mu terlalu berserakan di jalan. Hancur berkeping-keping.
Ini bukan dakwah, Ketika Bacaan Qur’an mu tak sampai satu juz perharinya dan engkau menggantinya dengan hanya berkumpul-kumpul saja tanpa arti. Atau kegiatan lainya yang sia-sia.
Ini bukan dakwah, Ketika engkau tak mau memperbaiki bacaan Qur’an mu dan menambah Hafalan Qur’an mu dengan alasan berjuta-juta kesibukanmu.
Ini bukan dakwah, Ketika amanah di dalam tempat tinggalmu terus kau lalaikan dengan alasan sering pulang larut malam karena rapat disana-sini. Apa artinya bersinar di luar namun redup di dalam?
Ini bukan dakwah, ketika engkau tak peduli dengan kondisi kesehatan dan akademikmu sendiri. Padahal saudara- saudaramu sudah sering mengingatkanmu. Hingga kau menyesal nanti. Dan terkadang menyusahkan saudara-saudaramu.
Ini bukan dakwah, Ketika hijab hatimu sudah sangat terkoyak, bahkan tak jarang kau sering mengotori hatimu melalui cara berkomunikasi yang tak wajar dengan kawan lawan jenismu. Atau bisa jadi membuat-buat alasan untuk koordinasi kegiatan dakwah.
Ini bukan dakwah, Ketika lingkungan sekitarmu tak kau pedulikan, bahkan senyumanmu terhadap saudaramu engkau lupakan.
“Yaa Muqollibal Qulub, Tsabbit Qolbi ‘Ala Diinik” “Wahai Zat yang membolak-baikan Hati, teguhkan hatiku di atas agama-Mu"