a.
Makna aliran
idealisme
Di dalam filsafat,
idealisme adalah doktrin yang mengajarkan bahwa hakikat dunia fisik hanya dapat
dipahami dalam kebergantungannya pada jiwa (mind) dan roh (spirit).
Istilah ini diambil dari kata “idea”, yaitu sesuatu yang hadir dalam jiwa. Kata
idealisme dalam filsafat mempunyai arti yang sangat berbeda dari arti yang
biasa dipakai dalam bahasa sehari-hari. Kata idealis itu dapat
mengandung beberapa pengertian, antara lain: Seorang yang menerima ukuran moral
yang tinggi, estetika, dan agama serta menghayatinya; Orang yang dapat
melukiskan dan menganjurkan suatu rencana atau program yang belum ada.
Pokok utama yang
diajukan oleh idealisme adalah jiwa mempunyai kedudukan yang utama dalam alam
semesta. Sebenarnya, idealisme tidak mengingkari materi. Namun, materi adalah
suatu gagasan yang tidak jelas dan bukan hakikat. Sebab, seseorang akan
memikirkan materi dalam hakikatnya yang terdalam, dia harus memikirkan roh atau
akal. Jika seseorang ingin mengetahui apakah sesungguhnya materi itu, dia harus
meneliti apakah pikiran itu, apakah nilai itu, dan apakah akal budi itu,
bukannya apakah materi itu.
Aliran idealisme merupakan kebalikan dari aliran materialisme. Menurut
aliran ini, kenyataan sejati adalah bersifat spiritual. Para idealis percaya
bahwa ada kenyataan spiritual di belakang setiap kejadian. Esensi dari
kenyataan spiritual ini adalah berpikir (res cogitans). Kekuatan
spiritual tidak dapat diukur atau dijelaskan berdasarkan pada pengamatan
empiris. Namun demikian, walaupun begitu para idealis tidak berarti menolak
kekuatan yang bersifat materialis dan menolak adanya hukum alam. Sebagaimana
yang dikemukakan oleh Hegel (1770-1831) “Kekuatan fisik dan hukum alam memang
ada, tetapi keberadaannya merupakan manifestasi dari kekuatan atau kenyataan
yang sejati dan lebih tinggi, yakni Roh absolut”.
Dalam aliran idealis telah mengenal Tuhan dan aliran ini juga selaras
dengan aliran rasionalisme dalam aliran filsafat. Menurut aliran idealisme,
sumber atau penggerak utama perilaku bukan kekuatan eksternal (stimulus dan
sistem syaraf pusat), melainkan kekuatan internal yakni jiwa, yang hendak
mewujudkan dirinya dalam menggapai nilai-nilai pribadinya dan norma-norma atau
hukum-hukum masyarakat dan agamanya. Tujuan hidup manusia dengan demikian
adalah untuk mengaktualisasikan diri dan nilai-nilai yang diyakininya.
b.
Jenis-jenis idealisme
1. Idealisme subjektif
adalah filsafat yang berpandangan idealis dan bertitik tolak pada ide manusia
atau ide sendiri. Alam dan masyarakat ini tercipta dari ide manusia. Segala
sesuatu yang timbul dan terjadi di alam atau di masyarakat adalah hasil atau
karena ciptaan ide manusia atau idenya sendiri, atau dengan kata lain alam dan
masyarakat hanyalah sebuah ide/fikiran dari dirinya sendiri atau ide manusia.
2. Idealisme Objektif adalah idealisme yang
bertitik tolak pada ide di luar ide manusia. Idealisme objektif ini dikatakan
bahwa akal menemukan apa yang sudah terdapat dalam susunan alam.
c. Tokoh-Tokoh Idealisme
1. J.G. Fichte (1762-1814 M)
Johan Gottlieb Fichte
adalah filosof Jerman. Ia belajar teologi di Jena pada tahun 1780-1788.
Filsafat menurut Fichte haruslah dideduksi dari satu prinsip. Ini sudah
mencukupi untuk memenuhi tuntutan pemikiran, moral, bahkan seluruh kebutuhan
manusia. Prinsip yang dimaksud ada di dalam etika. Bukan teori, melainkan
prakteklah yang menjadi pusat yang disekitarnya kehidupan diatur. Unsur
esensial dalam pengalaman adalah tindakan, bukan fakta.
Plato
(477-347), B. Spinoza (1632-1677 M), Liebniz (1685-1753 M), Berkeley
(1685-1753), Immanuel Kant(1724-1881 M), J. Fichte (1762-1814 M), F.Schelling
(1755-1854 M), dan G. Hegel (1770-1831 M)
Pancasila dalam
padangan filsafat idealisme
1.
Kajian Ontologis
Secara ontologis, Pancasila sebagai
filsafat dimaksudkan sebagai upaya untuk mengetahui hakikat dasar dari
sila-sila Pancasila. Pancasila terdiri atas lima sila memiliki satu kesatuan
dasar ontologis maksudnya setiap sila bukan merupakan azas yang berdiri
sendiri-sendiri.
Manusia merupakan pendukung pokok dari
sila-sila Pancasila. Maksudnya pada hakikatnya manusia memiliki hakikat mutlak
yaitu monopluralis, atau monodualis sebagai dasar ontologis
Pancasila.
-
Landasan
sila-sila Pancasila yaitu Tuhan, manusia, satu, rakyat dan adil.
-
Ontologi
ialah penyelidikan hakikat ada (esensi) dan keberadaan (eksistensi) segala
sesuatu: alam semesta, fisik, psikis, spiritual, metafisik, termasuk kehidupan sesudah mati,
dan Tuhan.
-
Ontologi Pancasila mengandung azas dan nilai
antara lain:
· Tuhan yang Maha Esa adalah sumber eksistensi
kesemestaan. Ontologi ketuhanan bersifat religius, supranatural, transendental
dan suprarasional;
- Ada – kesemestaan, alam semesta (makrokosmos) sebagai ada tak terbatas, dengan wujud dan hukum alam, sumber daya alam yang merupakan sumber kehidupan semua makhluk: bumi, matahari, zat asam, air, tanah subur, pertambangan, dan sebagainya
- Eksistensi subyek/ pribadi manusia: individual, suku, nasional, umat manusia (universal). Manusia adalah subyek unik dan mandiri baik personal maupun nasional, merdeka dan berdaulat. Subyek pribadi mengemban identitas unik: menghayati hak dan kewajiban dalam kebersamaan dan kesemestaan (sosial-horisontal dengan alam dan sesama manusia), sekaligus secara sosial-vertikal universal dengan Tuhan. Pribadi manusia bersifat utuh dan unik dengan potensi jasmani-rohani, karya dan kebajikan sebagai pengemban amanat keagamaan;
2.
Kajian Epistemologis
Secara epistemologis Pancasila sebagai
filsafat yaitu sebagai upaya untuk mencari hakikat Pancasila sebagai suatu
sistem pengetahuan. Sumber pengetahuan Pancasila adalah nilai-nilai yang ada
pada bangsa Indonesia sendiri. Sedangkan susunan Pancasila sebagai suatu sistem
pengetahuan yaitu Pancasila memiliki susunan yang bersifat formal logis,
baik dalam arti susunan sila-sila Pancasila maupun isi arti dari sila-sila
Pancasila itu.
Sebagai suatu paham epistemologi, maka
Pancasila mendasarkan pada pandangannya bahwa ilmu pengetahuan tidak bebas
nilai dalam upaya untuk mendapatkan suatu tingkatan pengetahuan yang mutlak
dalam hidup manusia.
Epistemologi menyelidiki sumber,
proses, syarat-syarat batas, validitas dan hakikat ilmu. Epistemologi Pancasila
secara mendasar meliputi nilai-nilai dan azas-azas:
Mahasumber ialah Tuhan, yang
menciptakan kepribadian manusia dengan martabat dan potensi unik yang tinggi,
menghayati kesemestaan, nilai agama dan ketuhanan. Kepribadian manusia sebagai
subyek diberkati dengan martabat luhur: pancaindra, akal, rasa, karsa, cipta,
karya dan budi nurani. Kemampuan martabat manusia sesungguhnya adalah anugerah
dan amanat ketuhanan/ keagamaan.
3.
Kajian Aksiologi
Aksiologi adalah teori nilai, yaitu
sesuatu yang diinginkan, disukai atau yang baik. Sila-sila Pancasila sebagai
suatu sistem filsafat memiliki satu kesatuan dasar aksiologis, yaitu
nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila pada hakikatnya juga merupakan
suatu kesatuan. Aksiologi Pancasila mengandung arti bahwa kita membahas tentang
filsafat nilai Pancasila.
Nilai-nilai dalam Pancasila termasuk
nilai etik atau nilai moral merupakan nilai dasar yang mendasari nilai intrumental
dan selanjutnya mendasari semua aktivitas kehidupan masyarakat, berbangsa, dan
bernegara.
Secara aksiologis, bangsa Indonesia
merupakan pendukung nilai-nilai Pancasila (subscriber of value Pancasila),
yaitu bangsa yang berketuhanan, yang berkemanusiaan, yang berpersatuan, yang
berkerakyatan dan berkeadilan sosial. Seluruh kesadaran manusia tentang nilai
tercermin dalam kepribadian dan tindakannya. Sumber nilai dan kebajikan bukan
saja kesadaran akan Ketuhanan yang maha esa, tetapi juga adanya potensi
intrinsik dalam kepribadian, yakni: potensi cinta kasih sebagai perwujudan akal
budi dan nurani manusia (berupa kebajikan).
Nilai instrinsik ajaran filsafat
Pancasila sedemikian mendasar, komprehensif, bahkan luhur dan ideal, meliputi:
multi-eksistensial dalam realitas horizontal; dalam hubungan teleologis;
normatif dengan mahasumber kesemestaan (Tuhan dengan ‘ikatan’ hukum alam dan
hukum moral yang psikologis-religius); kesadaran pribadi yang natural, sosial,
spiritual, supranatural dan suprarasional. Penghayatannya pun
multi-eksistensial, bahkan praeksistensi, eksistensi (real-self dan ideal-self),
bahkan demi tujuan akhir pada periode post-existence (demi kehidupan
abadi), menunjukkan wawasan eksistensial yang normatif-ideal.
Secara instrinsik dan potensial,
nilai-nilai Pancasila memenuhi tuntutan hidup manusia karena nilai filsafat
sejatinya adalah untuk menjamin keutuhan kepribadian dan tidak mengakibatkan
konflik kejiwaan maupun dilematika moral. Bersyukurlah kita punya Pancasila!
Referensi:
-
Pendidikan filsafat.blogspot.com
PGSD 3C/29. 087808103156
Tidak ada komentar:
Posting Komentar