Rabu, 06 April 2016

artikel sastra anak



ARTIKEL PEMBELAJARAN SASTRA INDONESIA DI SD dan PEMBAGIAN GENRE SASTRA ANAK
Pembelajaran adalah proses belajar yang didalamnya terdapat interaksi, bahan dan penilaian. Disekolah Dasar, pembelajaran sastra dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan siswa mengapresiasikan karya sastra. Kegiatan mengapresiasi sastra berkaitan dengan latihan mempertajam perasaan, penalaran, daya khayal, serta kepekaan terhadap masyarakat, budaya dan lingkungan hidup. Pengembangan kemampuan bersastra di sekolah dasar dilakukan dalam berbagai jenis dan bentuk melalui kegiatan mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis. Menurut Huck (1987 : 630-623) bahwa pembelajaran sastra di SD harus memberi pengalaman pada siswa yang akan berkontribusi pada 4 tujuan, yakni :
a)      Pencarian kesenangan Pada buku
b)      Menginterprestasikan bacaan sastra
c)      Mengembangkan kesadaran bersastra
d)     Mengembangkan apresiasi
Pembelajaran sastra di SD adalah Pembelajaran sastra anak. Sastra anak adalah karya sastra yang secara khusus dapat dipahami oleh anak-anak dan berisi tentang dunia yang akrab dengan anak-anak, yaitu anak yang berusia antara 6-13 tahun. Sastra anak adalah sastra yang secara emosional psikologis dapat ditanggapi dan dipahami oleh anak, dan itu pada umumnya berangkat dari fakta yang konkret dan mudah diimajinasikan.
menurut Sarumpaet (Dalam Santoso, 2003, 8.3), sastra anak adalah karya sastra yang dikonsumsi anak dan diurus serta dikerjakan oleh orang tua. Artinya, sastra anak ditulis oleh orang tua yang ditunjukan kepada anak dan proses produksinya pun dikerjakan oleh orang tua.
Sifat sastra anak adalah imajinasi semata, bukan berdasarkan pada fakta. Unsur imajinasi ini sangat menonjol dalam sastra anak. Hakikat sastra anak harus sesuai dengan dunia dan alam kehidupan anak-anak yang khas milik mereka dan bukan milik orang dewasa. Sastra anak bertumpu dan bermula pada penyajian nilai dan imbauan tertentu yang dianggap sebagai pedoman tingkah laku dalam kehidupan.
Berdasarkan kehadiran tokoh utamanya, sastra anak dapat dibedakan atas tiga hal, yaitu :
1.      sastra anak yang mengetengahkan tokoh utama benda mati,
2.      sastra anak yang mengetengahkan tokoh utamanya makhluk hidup selain manusia,
3.      sastra anak yang menghadirkan tokoh utama yang berasal dari manusia itu sendiri.
Seperti pada jenis karya sastra umumnya, sastra anak juga berfungsi sebagai media pendidikan dan hiburan, membentuk kepribadian anak, serta menuntun kecerdasan emosi anak. Pendidikan dalam sastra anak memuat amanat tentang moral, pembentukan kepribadian anak, mengembangkan imajinasi dan kreativitas, serta memberi pengetahuan keterampilan praktis bagi anak. Fungsi hiburan dalam sastra anak dapat membuat anak merasa bahagia atau senang membaca, senang dan gembira mendengarkan cerita ketika dibacakan atau dideklamasikan, dan mendapatkan kenikmatan atau kepuasan batin sehingga menuntun kecerdasan emosinya.
Sebagaimana halnya dalam sastra dewasa, sastra anak juga mengenal apa yang disebut genre, maka pembicaraan tentang genre sastra anak juga perlu dilakukan. Genre dapat dipahami sebagai suatu tipe kesusastraan yang memiliki perangkat karakteristik umum (Lukens, 2003:13). Menurut Mitchell (2003 :5-6) genre menunjuk pada pengertian tipe atau kategori pengelompokan karya sastra yang biasanya berdasarkan atas style, bentuk atau isi.
Karya sastra menurut genre atau jenisnya terbagi atas puisi, prosa, dan drama. Pembagian tersebut semata-mata didasarkan atas perbedaan bentuk fisiknya saja, bukan substansinya. Substansi karya sastra apa pun bentuknya tetap sama, yakni pengalaman kemanusiaan dalam segala wujud dan dimensinya. Pengenalan terhadap ciri-ciri bentuk sastra ini memudahkan proses pemahaman terhadap maknanya. Demikian pula komponen–komponen yang turut membangun karya sastra tersebut. Berikut ini dipaparkan ketiga bentuk karya sastra tersebut.
a.       Puisi
Puisi adalah karya sastra yang khas penggunaan bahasanya dan memuat pengalaman yang disusun secara khas pula. Pengalaman batin yang terkandung dalam puisi disusun dari peristiwa yang telah diberi makna dan ditafsirkan secara estetik.
Susunan kata dalam puisi relatif  lebih padat dibandingkan prosa. Kehadiran kata-kata dan ungkapan dalam puisi diperhitungkan dari berbagai segi: makna, citraan, rima, ritme, nada, rasa, dan jangkauan simboliknya. Sebagai alat, kata-kata dalam puisi harus mampu diboboti oleh gagasan yang ingin diutarakan penyair. Di samping itu, kata-kata puisi harus pula mampu membangkitkan tanggapan rasa pembacanya. Kebebasan penyair untuk memperlakukan bahasa sebagai bahan puisi itu dalam istilah kesusastraan dikenal sebagai lisentia poetica. Istilah ini menyiratkan adanya semacam kewenangan bagi penyair untuk mematuhi atau menyimpangi norma ketatabahasaan. Pematuhan dan penyimpangan ini haruslah mempertimbangkan tercapainya kepuitisannya.
Dari segi bentuknya kita mengenal puisi terikat dan puisi bebas. Puisi terikat dapat dikatakan sebagai puisi lama, puisi yang diciptakan oleh masyarakat lama, seperti pantun, syair, dan gurindam.
Puisi baru, puisi bebas atau yang lebih dikenal sebagai puisi modern yang mulai muncul pada masa Pujangga Baru dan dipopulerkan oleh Angkatan 45 yang dipelopori oleh Chairil Anwar. Puisi modern dilahirkan dalam semangat mencari kebebasan pengucapan pribadi. Puisi modern dapat dianggap sebagai bentuk pengucapan puisi yang tidak menginginkan pola-pola estetika yang kaku atau patokan-patokan yang membelenggu kebebasan jiwa penyair. Dengan demikian, nilai puisi modern dapat dilihat pada keutuhan, keselarasan, dan kepadatan ucapan, dan bukan terletak pada jumlah bait dan larik yang membangunnya.
Sebagai sistem tanda, karya sastra puisi dapat disikapi sebagai salah satu ragam penggunaan bahasa dalam kegiatan komunikasi. Akan tetapi, bentuk komunikasi dalam sastra juga bersifat khas karena (1) tidak mempunyai bentuk hubungan timbal balik antara penutur dan penanggap secara langsung, (2) pemahaman pesannya telah mengalami otonomisasi karena pemahaman pesan tidak terjadi secara otomatis, dan (3) berbeda dengan komunikasi lisan, karena komunikasi sastra tidak lagi terikat oleh konteks hubungan langsung, misalnya tempat, waktu, dan peristiwa.
Untuk mengapresiasi suatu puisi seorang pembaca harus menciptakan kontak, dalam arti membaca teks sastra dan melakukan penghayatan. Kontak ini bisa terjadi apabila pembaca memahami kode kebahasaan ataupun sistem tanda dalam puisi yang diapresiasi.
Gejala komunikasi seperti di atas dapat dihubungkan dengan sejumlah fungsi bahasa seperti fungsi (1) emotif, (2) referensial, (3) puitik, (4) fatis, (5) metalingual, dan (6) konatif (Jacobson, dalam Teeuw, 1984).
Fungsi emotif mengacu pada fungsi bahasa untuk menggambarkan, membentuk dan mengekspresikan gagasan, perasaan, pendapat, dan sikap penyair.
Fungsi referensial mengacu pada fungsi bahasa untuk menggambarkan objek, peristiwa, benda ataupun kenyataan tertentu sejalan dengan gagasan, perasaan, pendapat, dan sikap yang kita sampaikan, contoh dari pernyataan tersebut, misalnya dalam pernyataan Aku ini binatang jalang di tengah kumpulan terbuang.
Fungsi puitik yakni fungsi bahasa untuk menggambarkan makna sebagaimana terdapat dalam lambang kebahasaan itu sendiri. Untuk memahami makna binatang jalang misalnya, pembaca dapat menggambarkannya sebagai (makhluk bernyawa, kuat, liar, tidak terikat, tidak tergantung pada yang lain) dan sebagainya sebagai pemaknaan dari binatang jalang.
Fungsi fatis, mengacu pada konsepsi bahwa bentuk kebahasaan yang digunakan dalam komunikasi juga bisa digunakan untuk fungsi mempertahankan hubungan. Hal ini berguna untuk menciptakan kesan keakraban ataupun menciptakan bentuk-bentuk hubungan tertentu. Contoh dari pernyataan di atas misalnya, ketika kita membawa keranjang belanjaan, kita mungkin mendapat pertanyaan, “Dari pasar?” Kita tentunya hanya menjawab “Ya!” karena ujaran tersebut hanya untuk menciptakan keakraban atau hubungan sosial dan tidak mempunyai gagasan atau konsepsi apapun. Di dalam karya sastra penggunaan bahasa yang berkaitan dengan fungsi fatis bisa juga muncul apabila penggunaan bahasa itu hanya sekedar hiasan, sarana pemandu bunyi, atau sekedar kelayakan saja.
Fungsi konatif berisi konsepsi bahwa peristiwa bahasa dalam komunikasi berfungsi menimbulkan efek, imbauan, ataupun dorongan tertentu penanggapnya. Contoh dari pernyataan di atas, misal ketika kita membaca tulisan “Awas jalan licin” mungkin secara refleks kita akan mengurangi kecepatan dalam berkendaraan atau berjalan. Dalam membaca karya sastra, fungsi konatif itu berkaitan dengan efek pemahaman, misalnya, tentang nilai kehidupan yang mendorong kesadaran batin pembaca untuk melakukan ataupun menghayati pemahaman yang diperoleh itu dalam kehidupan sehari-hari.
Berdasarkan uraian di atas, dapat kita pahami bahwa puisi sebagai suatu struktur makro keberadaannya terkait dengan penyair, konteks, gagasan, sistem tanda yang terwujud dalam bentuk teks yang menjadi sarana kontak dengan pembaca (penerima). Selain komponen makro kita juga mendapatkan komponen mikro, yakni komponen yang membentuk puisi sebagai teks secara internal. Jelasnya suatu puisi akan memanfaatkan (1) bunyi bahasa, (2) katakata atau diksi, dan (3) penggunaan gaya bahasa untuk menciptakan kontak dengan pembacanya.
Unsur keindahan bunyi dalam puisi juga ditunjang oleh penggunaan unsur bunyi yang juga mempunyai berbagai macam karakteristik, seperti asonansi, disonansi, aliterasi, rima, dan irama.
Untuk memahami makna puisi, kita akan menemukan makna literal, pengertian tersirat, dan nilai kehidupan. Makna literal merupakan makna yang digambarkan oleh kata-kata dalam puisi seperti lazim dipersepsikan dalam kehidupan sehari-hari. Ketika membaca larik puisi Aku ini binatang jalang, misalnya, kata aku akan memberikan gambaran seseorang sebagai persona, misalnya penyair. Sementara kata binatang jalang membentuk gambaran dari sesuatu yang disebut binatang jalang. Dalam kesadaran batin pembaca mungkin akan muncul gambaran hewan yang disebut singa, harimau, atau hewan yang dapat dikategorikan sebagai binatang jalang.
Larik puisi Aku ini binatang jalang, tentu saja tidak memuat informasi ataupun pengertian bahwa ’aku ini merupakan hewan harimau”. Gambaran bahwa aku merupakan binatang jalang hanya merupakan perbandingan atau metafora aku layaknya atau bagaikan binatang jalang. Dengan kata lain, menggambarkan aku seperti singa atau harimau memuat pengertian yang tersirat. Guna memahami pengertian tersiratnya kita mestilah memahami gambaran ciri singa ataupun harimau yang layak diperbandingkan atau dihubungkan dengan ciri yang tedapat pada manusia. Dengan begitu, kita tidak akan mengangkat ciri singa yang mempunyai kaki empat, suka makan daging mentah, telanjang, tetapi mengambil ciri singa yang menggambarkan kekuatan, keberanian, berkeliaran, dan sebagainya.
Untuk memahami nilai kehidupan tentu saja kita harus memahami makna yang terdapat dalam puisi tersebut. Apabila hal tersebut dilaksanakan dan dihayati dalam kehidupan sehari-hari, manfaat itu berlaku juga bagi kehidupan manusia pada umumnya. Jadi jelas pemahaman nilai-nilai kehidupan memang benarbenar memiliki relevansi dengan kenyataan kehidupan sehari-hari.

b.      Prosa
Prosa merupakan jenis karya sastra dengan ciri-ciri antara lain (1) bentuknya yang bersifat penguraian, (2) adanya satuan-satuan makna dalam wujud alinea-alinea, dan (3) penggunaan bahasa yang cenderung longgar. Bentuk ini merupakan rangkaian peristiwa imajinatif yang diperankan oleh pelaku-pelaku cerita, dengan latar dan tahapan tertentu yang sering disebut dengan cerita rekaan. Bentuk ini terbagi atas kategori cerita pendek, novelet, dan novel.
Sebagai cerita rekaan, ia juga harus memiliki unsur-unsur, seperti pengarang, isi cerita, bahasa dan unsur-unsur fiksi. Unsur-unsur cerita rekaan antara lain sebagai berikut (a) tokoh dan penokohan, (b) alur, (c) latar, (d) tema, (e) amanat, (f) sudut pandang, (g) dan gaya bahasa, yang semuanya saling berhubungan sehingga membentuk satu cerita yang utuh.
Pembagian bentuk prosa seperti yang dikemukakan oleh H.B.Yassin adalah cerpen, novel, dan roman. Menurutnya, cerpen adalah cerita fiksi yang habis dibaca dalam sekali duduk. Novel adalah cerita fiksi yang mengisahkan perjalanan hidup para tokohnya dengan segala liku-liku perjalanan dan perubahan nasibnya. sedangkan roman adalah cerita fiksi yang mengisahkan tokoh-tokohnya sejak kanak-kanak sampai tutup usia. Jadi, panjang pendeknya cerita tidak dapat dijadikan patokan. Namun, sekarang ini istilah roman sudah jarang digunakan karena dianggap sama dengan novel.
Cerpen biasanya memiliki alur tunggal, pelaku terbatas (jumlahnya sedikit), dan mencakup peristiwa yang terbatas pula. Kualitas tokoh dalam cerpen jarang dikembangkan secara penuh. Karena serba dibatasi, tokoh dalam cerpen biasanya langsung ditunjukkan karakternya. Artinya, karakter tokoh langsung ditunjukkan oleh pengarangnya melalui narasi, deskripsi, atau dialog. Di samping itu, cerita pendek biasanya mencakup rentang waktu cerita yang pendek pula, misalnya semalam, sehari, seminggu, sebulan, atau setahun.
Novel memiliki durasi cerita yang lebih panjang dibandingkan dengan cerpen. Novel memiliki peluang yang cukup untuk mengeksplorasi karakter tokohnya dalam rentang waktu yang cukup panjang dan kronologi cerita yang bervariasi (ganda). Novel memungkinkan kita untuk menangkap perkembangan kejiwaan tokoh secara lebih komprehensif dan memungkinkan adanya penyajian secara panjang lebar mengenai permasalahan manusia. Itulah sebabnya, permasalahan yang diangkat menjadi tema-tema novel umumnya jauh lebih kompleks dan rumit bila dibandingkan dengan cerpen. Permasalahan hidup manusia yang menjadi sumber inspirasi penulis sangatlah rumit dan kompleks. Jika dipetakan pemasalahan itu meliputi hubungan antarmanusia dengan Tuhan, manusia dengan alam semesta, manusia dengan masyarakat, dan manusia dengan dirinya sendiri. Peranan tokoh tidak statis, tetapi bergerak dalam pergerakan waktu. Keterbatasan dan keleluasaan juga membawa konsekuensi pada rincian-rincian yang sering menjadi bumbu cerita.
Demikianlah sebuah karya sastra, sebagaimana rumah, juga dibangun oleh unsur-unsur yang mendukung keberadaannya. Unsur-unsur pembangun karya sastra lazim disebut dengan unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Menurut Jakob Sumardjo dan Saini K.M. (1985) yang dimaksud dengan unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang berasal dari dalam karya sastra itu sendiri, seperti: tema, tokoh, alur, latar, sudut pandang, amanat, dan gaya bahasa. Unsur-unsur ini harus ada karena akan menjadi kerangka dan isi karya tersebut. Sementara itu, unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berasal dari luar karya sastra, misalnya sosial, budaya, ekonomi, politik, agama, dan filsafat. Faktor ekstrinsik tidak menjadi penentu yang menggoyahkan karya sastra. Akan tetapi, bagi pembaca, hal tersebut tetap penting untuk diketahui karena akan membantu pemahaman makna karya sastra, mengingat tidak ada karya sastra yang lahir dari kekosongan budaya.
c.       Drama
Pada dasarnya drama tidak jauh berbeda dengan karya prosa fiksi. Kesamaan itu berkaitan dengan aspek kesastraan yang terkandung di dalamnya. Namun, ada perbedaan esensial yang membedakan antara karya drama dan karya prosa fiksi, yakni pada tujuannya. Tujuan utama penulisan naskah drama adalah untuk dipentaskan. Semi (1988) menyatakan bahwa drama adalah cerita atau tiruan perilaku manusia yang dipentaskan.
Jika dicermati secara saksama, drama memiliki dua aspek esensial, yakni aspek cerita dan aspek pementasan yang berhubungan dengan seni lakon atau teater. Drama sebenarnya memiliki tiga dimensi, yakni (1) sastra, (2) gerakan, dan (3) ujaran. Oleh karena itu, naskah drama tidak disusun khusus untuk dibaca seperti cerpen atau novel, tetapi lebih daripada itu dalam penciptaan naskah drama sudah dipertimbangkan aspek-aspek pementasannya. Dalam hampir setiap naskah drama selalu ditemukan narasi, dialog, dan arahan tentang petunjuk lakuan atau akting.
Menurut Rebecca Lukens membagi genre sastra menjadi beberapa jenis :
1.      Jenis Realisme
a)      Cerita realisme (realistic story) bercerita tentang masalah-masalah sosial de­ngan menampilkan tokoh utama protagonis sebagai pelaku cerita.
b)      Realisme binatang (animal realism) adalah cerita binatang yang bersifat nonfksi, berwujud deskripsi  binatang tanpa unsur personifikasi.
c)      Realisme historis (historical realism), mengisahkan peristiwa yang terjadi pada masa lampau. Biasanya mengambil satu atau eberapa tokoh utama yang dipergunakan sebagai ucuan pengembangan alur.
d)     Realisme olahraga (sports stories), cerita tentang berbagai hal yang berkaitan dengan dunia olah raga
2.      Jenis Fiksi Formula
a)      Cerita misteri dan detektif (mysteries and detective), biasanya bercerita tentang seseorang yang dianggap hero yang luar biasa dan mungkin berkarakter aneh (nyentrik).
b)      Cerita romantis (romantic stories) biasanya menampilkan kisah simplisitas dan sentimentalis hubungan laki-laki perempuan, seolah-olah tidak ada urusan lain kecuali urusam percintaan.
c)      Novel serial, novel yang diterbitkan secara terpisah namun merupakan satu kesatun unit. Contohnya : Wiro Sableng, Nogo Sosro Sabuk Inten, dan Api di Bukit Menoreh. Bisanya novel jenis ini memiliki satu tokoh utama dengan sedikit perubahan karakter.
3.      Jenis Fantasi
a)      Cerita fantasi (fantastic stories) biasanya menampilkan tokoh dan alur yang hampir sepenuhnya fantastik, seperti manusia yang berkawan dengan makhluk halus seperti hantu,  jin, atau  tuyul.
b)      Cerita fantasi tinggi (high fantasy), cerita selalu ditandai adanya fokus konflik antara yang baik (good) dan yang jahatr (evil), antara kebaikan dan kejahatan. Latar dapat bervariasi, bisa masa lalu atau masa yang akan datang, yang berbeda dan jauh dengan latar kehidupan kita. Contoh Lord of the Rings, Five Elements.
c)      Fiksi sain (science fiction) fiksi spekulatif berdasarkan sejumlah inovasi dalam sain dan teknologi, pseudo-sain atau pseudo-teknologi. Cerita ini biasanya berkaitan dengan kehidupan di masa depan (future worlds).
4.      Sastra Tradisional
a)      Fabel (fabel) adalah cerita binatang yang dimaksudkan sebagai personifikasi karakter manusia. Binatang yang dijadikan tokoh dapat bertindak layaknya manusia biasa.
b)      Dongeng rakyat (folktales, foklore) cerita tradisional yang disampaikan secara lisan dan turun temurun sehingga selalu terdapat variasi penceritaan walau isinya kurang lebih sama.
c)      Mitos (myths) yakni cerita yang berkaitan dengan dewa-dewa atau tentang kehidupan supernatural yang mengandung sifat pendewaan manusia atau manusia keturunan dewa.
d)     Legenda (legends) mempunyai kemiripan dengan mitologi, tetapi legenda sering memiliki atau berkaitan dengan kebenaran sejarah. Legenda menampilkan tokoh sebagai hero yang memiliki kehebatan dan dikaitkan dengan aspek kesejaahan.
e)      Epos (falk epics) merupakan cerita panjang  yang berbentuk syair (puisi) dengan pengarang yang tidak pernah diketahui, anonim. Cerita berlatar di suatu masyarakat atau bangsa yang terjadi pada masa lampau yang kadang-kadang tidak jelas latar waktunya.
5.      Puisi 
Sebuah karya sastra disebut puisi jika di dalamnya terdapat pendayagunaan berbagai unsur bahasa untuk mencapai efek keindahan. Bahasa puisi singkat dan padat, dengan sedikit kata tetapi dapat mendialogkan banyak hal. Pendayagunaan bahasa dapat berupa: permainan bunyi, sarana retorika, diksi, citraan, dan gaya bahasa. Genre puisi dapat berwujud seperti: lagu/temang dolanan. Lirik-lirik tembang nina bobo (nursery rhymes), puisi naratif, dan puisi personal.
Puisi naratif adalah puisi yang di dalamnya mengandung cerita atau sebaliknya cerita yang dikisahkan dengan cara puisi. Puisi personal adalah puisi modern yang sengaja ditulis untuk anak-anak baik oleh penulis dewasa maupun anak-anak dengan tema yang beragam.
6.      Nonfiksi
a)      Buku informasi (informational books) yang terdiri atas berbagai macam buku yang mengandung informasi, fakta, konsep, hubungan antarfakta dan konsep yang mampu menstimuli keingintahuan anak atau  pembaca.
b)      Biografi (biography) yakni buku yang berisi riwayat hidup seseorang untuk memberi kejelasan berbagai hal menyangkut orang tersebut, menguraikan sikap dan pandangan hidupnya, dan juga memberitahukan atau mengkla­rifikasi sesuatu yang selama ini belum diketahui orang.
Berdasarkan kategori Lukens di atas, genre sastra anak dapat disederhanakan menjadi:
  1. Genre Puisi
  2. Genre Fiksi
  3. Genre Nonfiksi
  4. Genre  Sastra Tradisional
  5. Genre Komik




Tidak ada komentar:

Posting Komentar