ARTIKEL
PEMBELAJARAN SASTRA INDONESIA DI SD dan PEMBAGIAN GENRE SASTRA ANAK
Pembelajaran
adalah proses belajar yang didalamnya terdapat interaksi, bahan dan penilaian.
Disekolah Dasar, pembelajaran sastra dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan
siswa mengapresiasikan karya sastra. Kegiatan mengapresiasi sastra berkaitan
dengan latihan mempertajam perasaan, penalaran, daya khayal, serta kepekaan
terhadap masyarakat, budaya dan lingkungan hidup. Pengembangan kemampuan bersastra
di sekolah dasar dilakukan dalam berbagai jenis dan bentuk melalui kegiatan
mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis. Menurut Huck (1987 : 630-623)
bahwa pembelajaran sastra di SD harus memberi pengalaman pada siswa yang akan
berkontribusi pada 4 tujuan, yakni :
a) Pencarian
kesenangan Pada buku
b) Menginterprestasikan
bacaan sastra
c) Mengembangkan
kesadaran bersastra
d) Mengembangkan
apresiasi
Pembelajaran sastra di SD adalah
Pembelajaran sastra anak. Sastra anak adalah karya sastra yang secara khusus dapat
dipahami oleh anak-anak dan berisi tentang dunia yang akrab dengan anak-anak,
yaitu anak yang berusia antara 6-13 tahun. Sastra anak adalah sastra yang secara emosional psikologis dapat ditanggapi dan dipahami
oleh anak, dan itu pada umumnya berangkat dari fakta yang konkret dan mudah
diimajinasikan.
menurut
Sarumpaet (Dalam Santoso, 2003, 8.3), sastra anak adalah karya sastra yang
dikonsumsi anak dan diurus serta dikerjakan oleh orang tua. Artinya,
sastra anak ditulis oleh orang tua yang ditunjukan kepada anak dan proses
produksinya pun dikerjakan oleh orang tua.
Sifat sastra anak adalah imajinasi semata, bukan
berdasarkan pada fakta. Unsur imajinasi ini sangat menonjol dalam sastra anak.
Hakikat sastra anak harus sesuai dengan dunia dan alam kehidupan anak-anak yang
khas milik mereka dan bukan milik orang dewasa. Sastra anak bertumpu dan
bermula pada penyajian nilai dan imbauan tertentu yang dianggap sebagai pedoman
tingkah laku dalam kehidupan.
Berdasarkan kehadiran tokoh utamanya, sastra anak dapat dibedakan
atas tiga hal, yaitu :
1.
sastra anak yang mengetengahkan tokoh
utama benda mati,
2.
sastra anak yang mengetengahkan tokoh
utamanya makhluk hidup selain manusia,
3.
sastra anak yang menghadirkan tokoh
utama yang berasal dari manusia itu sendiri.
Seperti pada jenis karya sastra umumnya, sastra anak juga
berfungsi sebagai media pendidikan dan hiburan, membentuk kepribadian anak,
serta menuntun kecerdasan emosi anak. Pendidikan dalam sastra anak memuat
amanat tentang moral, pembentukan kepribadian anak, mengembangkan imajinasi dan
kreativitas, serta memberi pengetahuan keterampilan praktis bagi anak. Fungsi
hiburan dalam sastra anak dapat membuat anak merasa bahagia atau senang
membaca, senang dan gembira mendengarkan cerita ketika dibacakan atau
dideklamasikan, dan mendapatkan kenikmatan atau kepuasan batin sehingga
menuntun kecerdasan emosinya.
Sebagaimana
halnya dalam sastra dewasa, sastra anak juga mengenal apa yang disebut genre,
maka pembicaraan tentang genre sastra anak juga perlu dilakukan. Genre dapat dipahami
sebagai suatu tipe kesusastraan yang memiliki perangkat karakteristik umum
(Lukens, 2003:13). Menurut Mitchell (2003 :5-6) genre menunjuk pada pengertian
tipe atau kategori pengelompokan karya sastra yang biasanya berdasarkan atas
style, bentuk atau isi.
Karya sastra menurut genre atau jenisnya terbagi
atas puisi, prosa, dan drama. Pembagian tersebut semata-mata didasarkan atas
perbedaan bentuk fisiknya saja, bukan substansinya. Substansi karya sastra apa
pun bentuknya tetap sama, yakni pengalaman kemanusiaan dalam segala wujud dan
dimensinya. Pengenalan terhadap ciri-ciri bentuk sastra ini memudahkan proses
pemahaman terhadap maknanya. Demikian pula komponen–komponen yang turut
membangun karya sastra tersebut. Berikut ini dipaparkan ketiga bentuk karya
sastra tersebut.
a. Puisi
Puisi
adalah karya sastra yang khas penggunaan bahasanya dan memuat pengalaman yang
disusun secara khas pula. Pengalaman batin yang terkandung dalam puisi disusun
dari peristiwa yang telah diberi makna dan ditafsirkan secara estetik.
Susunan
kata dalam puisi relatif lebih padat
dibandingkan prosa. Kehadiran kata-kata dan ungkapan dalam puisi diperhitungkan
dari berbagai segi: makna, citraan, rima, ritme, nada, rasa, dan jangkauan
simboliknya. Sebagai alat, kata-kata dalam puisi harus mampu diboboti oleh
gagasan yang ingin diutarakan penyair. Di samping itu, kata-kata puisi harus
pula mampu membangkitkan tanggapan rasa pembacanya. Kebebasan penyair untuk
memperlakukan bahasa sebagai bahan puisi itu dalam istilah kesusastraan dikenal
sebagai lisentia poetica. Istilah ini menyiratkan adanya semacam kewenangan
bagi penyair untuk mematuhi atau menyimpangi norma ketatabahasaan. Pematuhan dan
penyimpangan ini haruslah mempertimbangkan tercapainya kepuitisannya.
Dari
segi bentuknya kita mengenal puisi terikat dan puisi bebas. Puisi terikat dapat
dikatakan sebagai puisi lama, puisi yang diciptakan oleh masyarakat lama,
seperti pantun, syair, dan gurindam.
Puisi
baru, puisi bebas atau yang lebih dikenal sebagai puisi modern yang mulai muncul
pada masa Pujangga Baru dan dipopulerkan oleh Angkatan 45 yang dipelopori oleh
Chairil Anwar. Puisi modern dilahirkan dalam semangat mencari kebebasan
pengucapan pribadi. Puisi modern dapat dianggap sebagai bentuk pengucapan puisi
yang tidak menginginkan pola-pola estetika yang kaku atau patokan-patokan yang
membelenggu kebebasan jiwa penyair. Dengan demikian, nilai puisi modern dapat
dilihat pada keutuhan, keselarasan, dan kepadatan ucapan, dan bukan terletak
pada jumlah bait dan larik yang membangunnya.
Sebagai
sistem tanda, karya sastra puisi dapat disikapi sebagai salah satu ragam
penggunaan bahasa dalam kegiatan komunikasi. Akan tetapi, bentuk komunikasi
dalam sastra juga bersifat khas karena (1) tidak mempunyai bentuk hubungan
timbal balik antara penutur dan penanggap secara langsung, (2) pemahaman
pesannya telah mengalami otonomisasi karena pemahaman pesan tidak terjadi
secara otomatis, dan (3) berbeda dengan komunikasi lisan, karena komunikasi
sastra tidak lagi terikat oleh konteks hubungan langsung, misalnya tempat,
waktu, dan peristiwa.
Untuk
mengapresiasi suatu puisi seorang pembaca harus menciptakan kontak, dalam arti
membaca teks sastra dan melakukan penghayatan. Kontak ini bisa terjadi apabila
pembaca memahami kode kebahasaan ataupun sistem tanda dalam puisi yang
diapresiasi.
Gejala
komunikasi seperti di atas dapat dihubungkan dengan sejumlah fungsi bahasa
seperti fungsi (1) emotif, (2) referensial, (3) puitik, (4) fatis, (5)
metalingual, dan (6) konatif (Jacobson, dalam Teeuw, 1984).
Fungsi
emotif mengacu pada fungsi bahasa untuk menggambarkan, membentuk dan
mengekspresikan gagasan, perasaan, pendapat, dan sikap penyair.
Fungsi
referensial mengacu pada fungsi bahasa untuk menggambarkan objek, peristiwa,
benda ataupun kenyataan tertentu sejalan dengan gagasan, perasaan, pendapat,
dan sikap yang kita sampaikan, contoh dari pernyataan tersebut, misalnya dalam
pernyataan Aku ini binatang jalang di tengah kumpulan terbuang.
Fungsi
puitik yakni fungsi bahasa untuk menggambarkan makna sebagaimana terdapat dalam
lambang kebahasaan itu sendiri. Untuk memahami makna binatang jalang misalnya,
pembaca dapat menggambarkannya sebagai (makhluk bernyawa, kuat, liar, tidak
terikat, tidak tergantung pada yang lain) dan sebagainya sebagai pemaknaan dari
binatang jalang.
Fungsi
fatis, mengacu pada konsepsi bahwa bentuk kebahasaan yang digunakan dalam
komunikasi juga bisa digunakan untuk fungsi mempertahankan hubungan. Hal ini
berguna untuk menciptakan kesan keakraban ataupun menciptakan bentuk-bentuk
hubungan tertentu. Contoh dari pernyataan di atas misalnya, ketika kita membawa
keranjang belanjaan, kita mungkin mendapat pertanyaan, “Dari pasar?” Kita
tentunya hanya menjawab “Ya!” karena ujaran tersebut hanya untuk menciptakan
keakraban atau hubungan sosial dan tidak mempunyai gagasan atau konsepsi
apapun. Di dalam karya sastra penggunaan bahasa yang berkaitan dengan fungsi
fatis bisa juga muncul apabila penggunaan bahasa itu hanya sekedar hiasan,
sarana pemandu bunyi, atau sekedar kelayakan saja.
Fungsi
konatif berisi konsepsi bahwa peristiwa bahasa dalam komunikasi berfungsi
menimbulkan efek, imbauan, ataupun dorongan tertentu penanggapnya. Contoh dari
pernyataan di atas, misal ketika kita membaca tulisan “Awas jalan licin”
mungkin secara refleks kita akan mengurangi kecepatan dalam berkendaraan atau
berjalan. Dalam membaca karya sastra, fungsi konatif itu berkaitan dengan efek
pemahaman, misalnya, tentang nilai kehidupan yang mendorong kesadaran batin
pembaca untuk melakukan ataupun menghayati pemahaman yang diperoleh itu dalam
kehidupan sehari-hari.
Berdasarkan
uraian di atas, dapat kita pahami bahwa puisi sebagai suatu struktur makro
keberadaannya terkait dengan penyair, konteks, gagasan, sistem tanda yang
terwujud dalam bentuk teks yang menjadi sarana kontak dengan pembaca
(penerima). Selain komponen makro kita juga mendapatkan komponen mikro, yakni
komponen yang membentuk puisi sebagai teks secara internal. Jelasnya suatu
puisi akan memanfaatkan (1) bunyi bahasa, (2) katakata atau diksi, dan (3)
penggunaan gaya bahasa untuk menciptakan kontak dengan pembacanya.
Unsur
keindahan bunyi dalam puisi juga ditunjang oleh penggunaan unsur bunyi yang
juga mempunyai berbagai macam karakteristik, seperti asonansi, disonansi,
aliterasi, rima, dan irama.
Untuk
memahami makna puisi, kita akan menemukan makna literal, pengertian tersirat,
dan nilai kehidupan. Makna literal merupakan makna yang digambarkan oleh
kata-kata dalam puisi seperti lazim dipersepsikan dalam kehidupan sehari-hari.
Ketika membaca larik puisi Aku ini binatang jalang, misalnya, kata aku akan
memberikan gambaran seseorang sebagai persona, misalnya penyair. Sementara kata
binatang jalang membentuk gambaran dari sesuatu yang disebut binatang jalang.
Dalam kesadaran batin pembaca mungkin akan muncul gambaran hewan yang disebut
singa, harimau, atau hewan yang dapat dikategorikan sebagai binatang jalang.
Larik
puisi Aku ini binatang jalang, tentu saja tidak memuat informasi ataupun
pengertian bahwa ’aku ini merupakan hewan harimau”. Gambaran bahwa aku
merupakan binatang jalang hanya merupakan perbandingan atau metafora aku
layaknya atau bagaikan binatang jalang. Dengan kata lain, menggambarkan aku
seperti singa atau harimau memuat pengertian yang tersirat. Guna memahami
pengertian tersiratnya kita mestilah memahami gambaran ciri singa ataupun
harimau yang layak diperbandingkan atau dihubungkan dengan ciri yang tedapat
pada manusia. Dengan begitu, kita tidak akan mengangkat ciri singa yang
mempunyai kaki empat, suka makan daging mentah, telanjang, tetapi mengambil
ciri singa yang menggambarkan kekuatan, keberanian, berkeliaran, dan
sebagainya.
Untuk
memahami nilai kehidupan tentu saja kita harus memahami makna yang terdapat
dalam puisi tersebut. Apabila hal tersebut dilaksanakan dan dihayati dalam kehidupan
sehari-hari, manfaat itu berlaku juga bagi kehidupan manusia pada umumnya. Jadi
jelas pemahaman nilai-nilai kehidupan memang benarbenar memiliki relevansi
dengan kenyataan kehidupan sehari-hari.
b. Prosa
Prosa
merupakan jenis karya sastra dengan ciri-ciri antara lain (1) bentuknya yang
bersifat penguraian, (2) adanya satuan-satuan makna dalam wujud alinea-alinea,
dan (3) penggunaan bahasa yang cenderung longgar. Bentuk ini merupakan
rangkaian peristiwa imajinatif yang diperankan oleh pelaku-pelaku cerita,
dengan latar dan tahapan tertentu yang sering disebut dengan cerita rekaan.
Bentuk ini terbagi atas kategori cerita pendek, novelet, dan novel.
Sebagai
cerita rekaan, ia juga harus memiliki unsur-unsur, seperti pengarang, isi
cerita, bahasa dan unsur-unsur fiksi. Unsur-unsur cerita rekaan antara lain
sebagai berikut (a) tokoh dan penokohan, (b) alur, (c) latar, (d) tema, (e)
amanat, (f) sudut pandang, (g) dan gaya bahasa, yang semuanya saling
berhubungan sehingga membentuk satu cerita yang utuh.
Pembagian
bentuk prosa seperti yang dikemukakan oleh H.B.Yassin adalah cerpen, novel, dan
roman. Menurutnya, cerpen adalah cerita fiksi yang habis dibaca dalam sekali
duduk. Novel adalah cerita fiksi yang mengisahkan perjalanan hidup para
tokohnya dengan segala liku-liku perjalanan dan perubahan nasibnya. sedangkan
roman adalah cerita fiksi yang mengisahkan tokoh-tokohnya sejak kanak-kanak
sampai tutup usia. Jadi, panjang pendeknya cerita tidak dapat dijadikan patokan.
Namun, sekarang ini istilah roman sudah jarang digunakan karena dianggap sama
dengan novel.
Cerpen
biasanya memiliki alur tunggal, pelaku terbatas (jumlahnya sedikit), dan
mencakup peristiwa yang terbatas pula. Kualitas tokoh dalam cerpen jarang
dikembangkan secara penuh. Karena serba dibatasi, tokoh dalam cerpen biasanya
langsung ditunjukkan karakternya. Artinya, karakter tokoh langsung ditunjukkan
oleh pengarangnya melalui narasi, deskripsi, atau dialog. Di samping itu,
cerita pendek biasanya mencakup rentang waktu cerita yang pendek pula, misalnya
semalam, sehari, seminggu, sebulan, atau setahun.
Novel
memiliki durasi cerita yang lebih panjang dibandingkan dengan cerpen. Novel
memiliki peluang yang cukup untuk mengeksplorasi karakter tokohnya dalam rentang
waktu yang cukup panjang dan kronologi cerita yang bervariasi (ganda). Novel
memungkinkan kita untuk menangkap perkembangan kejiwaan tokoh secara lebih
komprehensif dan memungkinkan adanya penyajian secara panjang lebar mengenai
permasalahan manusia. Itulah sebabnya, permasalahan yang diangkat menjadi
tema-tema novel umumnya jauh lebih kompleks dan rumit bila dibandingkan dengan
cerpen. Permasalahan hidup manusia yang menjadi sumber inspirasi penulis
sangatlah rumit dan kompleks. Jika dipetakan pemasalahan itu meliputi hubungan
antarmanusia dengan Tuhan, manusia dengan alam semesta, manusia dengan
masyarakat, dan manusia dengan dirinya sendiri. Peranan tokoh tidak statis,
tetapi bergerak dalam pergerakan waktu. Keterbatasan dan keleluasaan juga
membawa konsekuensi pada rincian-rincian yang sering menjadi bumbu cerita.
Demikianlah
sebuah karya sastra, sebagaimana rumah, juga dibangun oleh unsur-unsur yang
mendukung keberadaannya. Unsur-unsur pembangun karya sastra lazim disebut
dengan unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Menurut Jakob Sumardjo dan Saini
K.M. (1985) yang dimaksud dengan unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang
berasal dari dalam karya sastra itu sendiri, seperti: tema, tokoh, alur, latar,
sudut pandang, amanat, dan gaya bahasa. Unsur-unsur ini harus ada karena akan
menjadi kerangka dan isi karya tersebut. Sementara itu, unsur ekstrinsik adalah
unsur-unsur yang berasal dari luar karya sastra, misalnya sosial, budaya,
ekonomi, politik, agama, dan filsafat. Faktor ekstrinsik tidak menjadi penentu
yang menggoyahkan karya sastra. Akan tetapi, bagi pembaca, hal tersebut tetap
penting untuk diketahui karena akan membantu pemahaman makna karya sastra,
mengingat tidak ada karya sastra yang lahir dari kekosongan budaya.
c. Drama
Pada
dasarnya drama tidak jauh berbeda dengan karya prosa fiksi. Kesamaan itu
berkaitan dengan aspek kesastraan yang terkandung di dalamnya. Namun, ada
perbedaan esensial yang membedakan antara karya drama dan karya prosa fiksi,
yakni pada tujuannya. Tujuan utama penulisan naskah drama adalah untuk
dipentaskan. Semi (1988) menyatakan bahwa drama adalah cerita atau tiruan
perilaku manusia yang dipentaskan.
Jika
dicermati secara saksama, drama memiliki dua aspek esensial, yakni aspek cerita
dan aspek pementasan yang berhubungan dengan seni lakon atau teater. Drama
sebenarnya memiliki tiga dimensi, yakni (1) sastra, (2) gerakan, dan (3)
ujaran. Oleh karena itu, naskah drama tidak disusun khusus untuk dibaca seperti
cerpen atau novel, tetapi lebih daripada itu dalam penciptaan naskah drama
sudah dipertimbangkan aspek-aspek pementasannya. Dalam hampir setiap naskah
drama selalu ditemukan narasi, dialog, dan arahan tentang petunjuk lakuan atau
akting.
Menurut Rebecca Lukens membagi genre sastra menjadi
beberapa jenis :
1. Jenis Realisme
a) Cerita realisme (realistic story)
bercerita tentang masalah-masalah sosial dengan menampilkan tokoh utama
protagonis sebagai pelaku cerita.
b) Realisme binatang (animal realism)
adalah cerita binatang yang bersifat nonfksi, berwujud deskripsi binatang
tanpa unsur personifikasi.
c) Realisme historis (historical
realism), mengisahkan peristiwa yang terjadi pada masa lampau. Biasanya
mengambil satu atau eberapa tokoh utama yang dipergunakan sebagai ucuan
pengembangan alur.
d) Realisme olahraga (sports stories),
cerita tentang berbagai hal yang berkaitan dengan dunia olah raga
2. Jenis Fiksi Formula
a) Cerita misteri dan detektif
(mysteries and detective), biasanya bercerita tentang seseorang yang dianggap
hero yang luar biasa dan mungkin berkarakter aneh (nyentrik).
b) Cerita romantis (romantic stories)
biasanya menampilkan kisah simplisitas dan sentimentalis hubungan laki-laki
perempuan, seolah-olah tidak ada urusan lain kecuali urusam percintaan.
c) Novel serial, novel yang diterbitkan
secara terpisah namun merupakan satu kesatun unit. Contohnya : Wiro Sableng,
Nogo Sosro Sabuk Inten, dan Api di Bukit Menoreh. Bisanya novel
jenis ini memiliki satu tokoh utama dengan sedikit perubahan karakter.
3. Jenis Fantasi
a) Cerita fantasi (fantastic
stories) biasanya menampilkan tokoh dan alur yang hampir sepenuhnya
fantastik, seperti manusia yang berkawan dengan makhluk halus seperti
hantu, jin, atau tuyul.
b) Cerita fantasi tinggi (high
fantasy), cerita selalu ditandai adanya fokus konflik antara yang baik
(good) dan yang jahatr (evil), antara kebaikan dan kejahatan. Latar dapat
bervariasi, bisa masa lalu atau masa yang akan datang, yang berbeda dan jauh
dengan latar kehidupan kita. Contoh Lord of the Rings, Five Elements.
c) Fiksi sain (science fiction)
fiksi spekulatif berdasarkan sejumlah inovasi dalam sain dan teknologi,
pseudo-sain atau pseudo-teknologi. Cerita ini biasanya berkaitan dengan
kehidupan di masa depan (future worlds).
4. Sastra Tradisional
a) Fabel (fabel) adalah cerita
binatang yang dimaksudkan sebagai personifikasi karakter manusia. Binatang yang
dijadikan tokoh dapat bertindak layaknya manusia biasa.
b) Dongeng rakyat (folktales,
foklore) cerita tradisional yang disampaikan secara lisan dan turun temurun
sehingga selalu terdapat variasi penceritaan walau isinya kurang lebih sama.
c) Mitos (myths) yakni cerita
yang berkaitan dengan dewa-dewa atau tentang kehidupan supernatural yang
mengandung sifat pendewaan manusia atau manusia keturunan dewa.
d) Legenda (legends) mempunyai
kemiripan dengan mitologi, tetapi legenda sering memiliki atau berkaitan dengan
kebenaran sejarah. Legenda menampilkan tokoh sebagai hero yang memiliki
kehebatan dan dikaitkan dengan aspek kesejaahan.
e) Epos (falk epics) merupakan
cerita panjang yang berbentuk syair (puisi) dengan pengarang yang tidak
pernah diketahui, anonim. Cerita berlatar di suatu masyarakat atau bangsa yang
terjadi pada masa lampau yang kadang-kadang tidak jelas latar waktunya.
5. Puisi
Sebuah
karya sastra disebut puisi jika di dalamnya terdapat pendayagunaan berbagai
unsur bahasa untuk mencapai efek keindahan. Bahasa puisi singkat dan padat,
dengan sedikit kata tetapi dapat mendialogkan banyak hal. Pendayagunaan bahasa
dapat berupa: permainan bunyi, sarana retorika, diksi, citraan, dan gaya
bahasa. Genre puisi dapat berwujud seperti: lagu/temang dolanan. Lirik-lirik
tembang nina bobo (nursery rhymes), puisi naratif, dan puisi personal.
Puisi
naratif adalah puisi yang di dalamnya mengandung cerita atau sebaliknya cerita
yang dikisahkan dengan cara puisi. Puisi personal adalah puisi modern yang
sengaja ditulis untuk anak-anak baik oleh penulis dewasa maupun anak-anak
dengan tema yang beragam.
6. Nonfiksi
a) Buku informasi (informational
books) yang terdiri atas berbagai macam buku yang mengandung informasi,
fakta, konsep, hubungan antarfakta dan konsep yang mampu menstimuli
keingintahuan anak atau pembaca.
b) Biografi (biography) yakni
buku yang berisi riwayat hidup seseorang untuk memberi kejelasan berbagai hal
menyangkut orang tersebut, menguraikan sikap dan pandangan hidupnya, dan juga
memberitahukan atau mengklarifikasi sesuatu yang selama ini belum diketahui
orang.
Berdasarkan
kategori Lukens di atas, genre sastra anak dapat disederhanakan menjadi:
- Genre Puisi
- Genre Fiksi
- Genre Nonfiksi
- Genre Sastra Tradisional
- Genre Komik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar