Aku Malu Dipanggil
Aktivis
Aku malu saat kau
memanggilku dengan sebutan “Aktivis”. Karena bisa jadi amal baik mu lebih
banyak daripada amalku.
Aku malu saat kau
memanggilku dengan sebutan itu. Karena bisa jadi keikhlasanmu lebih mendalam
daripada diriku.
Aku malu sangat malu
saat kau memanggilku dengan sebutan Aktivis yang hebat. Karena bisa jadi
kedudukan engkau lebih mulia di hadapan Allah. Siapa yang tahu tentang hati
ini? Bukankah yang mengetahui hanyalah diri sendiri dan Allah semata?
Aku sungguh sangat malu
kawan, engkau memanggilku dengan sebutan “aktivis” ketika bacaan Qur’an ku
masih terbata-bata dan belum baik. Apalagi dengan hafalan Qur’an ku? Tahsin
saja aku masih menunda-nunda. Apalagi untuk tingkat Tahfizh?
Aku merasa tidak pantas
kawan, ketika engkau menyebutku dengan sebutan “aktivis” yang sering pulang
larut malam karena banyak agenda dakwah disana-sini. Hingga tak jarang aku
membiarkan Mushaf itu hanya bergeletakan di atas meja kerjaku. Atau bahkan
hanya ku simpan di dalam tas ku tanpa sesekali ku membacanya.
Aku tak kuasa menahan
air mata ini kawan, engkau memanggilku dengan sebutan “aktivis” ketika lalai ku
membuat kalian merasa terzolimi. Lalai ketika tidak bisa menjalankan amanah di
tempat tinggal bersama mu, atau lalai ketika tidak memerhatikan hubungan
ukhuwah antara kita. Ya, karena aku terlalu sibuk dengan agenda-agenda dakwah
ku di luar sana.
Aku merasa diri ini tak
pantas, engkau memanggilku dengan sebutan “aktivis” ketika kehidupanku mulai
tak seimbang antara kegiatan organisasi dan akademik. Padahal engkau selalu
memerhatikanku. Tapi sepertinya aku bersikap acuh tak acuh hingga penyesalan
itu kian datang. Dan berujung dengan keputusasaan.
Aku merasa malu sekali
kawan, engkau memanggilku dengan sebutan “aktivis” yang pandai menjaga hati.
Padahal bisa jadi ketika aku bertemu dengan kawan perjuangan lawan jenis
disana, hatiku terpaut tak menentu dan mengotori jalan ke-ikhlasan cintaku
kepada-Nya. Bisa jadi engkau lebih
pandai menjaga hatimu
dari pada aku yang berbalut dalam organisasi dakwah ini. Bisa jadi ini hanya
topeng semata untuk menutupi busuk nya hatiku di hadapan mereka yang tak tahu.
Aku sungguh sangat
sedih kawan, engkau memanggilku dengan sebutan “aktivis hebat”, padahal bisa
jadi engkau lebih hebat mengatur waktu dan amalan yaumiyahmu dibanding dengan diriku.
Sudah cukup kawan,
jangan panggil aku dengan sebutan “itu” lagi, jika aku hanya berlindung diri dalam
kegiatan dakwah tanpa membenahi diri menjadi lebih baik.
Sungguh…
Ini bukanlah dakwah,
Ketika amal yaumiyah mu terlalu berserakan di jalan. Hancur berkeping-keping.
Ini bukan dakwah,
Ketika Bacaan Qur’an mu tak sampai satu juz perharinya dan engkau menggantinya
dengan hanya berkumpul-kumpul saja tanpa arti. Atau kegiatan lainya yang sia-sia.
Ini bukan dakwah,
Ketika engkau tak mau memperbaiki bacaan Qur’an mu dan menambah Hafalan Qur’an
mu dengan alasan berjuta-juta kesibukanmu.
Ini bukan dakwah,
Ketika amanah di dalam tempat tinggalmu terus kau lalaikan dengan alasan sering
pulang larut malam karena rapat disana-sini. Apa artinya bersinar di luar namun
redup di dalam?
Ini bukan dakwah,
ketika engkau tak peduli dengan kondisi kesehatan dan akademikmu sendiri.
Padahal saudara- saudaramu sudah sering mengingatkanmu. Hingga kau menyesal
nanti. Dan terkadang menyusahkan saudara-saudaramu.
Ini bukan dakwah,
Ketika hijab hatimu sudah sangat terkoyak, bahkan tak jarang kau sering
mengotori hatimu melalui cara berkomunikasi yang tak wajar dengan kawan lawan
jenismu. Atau bisa jadi membuat-buat alasan untuk koordinasi kegiatan dakwah.
Ini bukan dakwah,
Ketika lingkungan sekitarmu tak kau pedulikan, bahkan senyumanmu terhadap
saudaramu engkau lupakan.
“Yaa Muqollibal Qulub,
Tsabbit Qolbi ‘Ala Diinik” “Wahai Zat yang membolak-baikan Hati, teguhkan
hatiku di atas agama-Mu"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar